Kapita
Selekta Ilmu Pertanian
Makalah
Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugah Mata Kuliah Kapita Selekta Ilmu Pertanian
PENGELOLAAN
TANAMAN PANGAN PADA TIPOLOGI LAHAN GAMBUT, PASANG SURUT DAN LAHAN MINERAL MASAM
Oleh:
Ulil
Abror Putra Yudha
101510501143
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2013
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada
saat ini dapat dikatakan kondisi pertanian indonesia dalam keadaan terpuruk.
Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya Negara ini mengimport
berbagai produk tanaman pangan mulai dari beras, jagung, kedelai dan lainnya.
Pada Oktober 2012 Impor beras mencapai 1,95 juta ton, jagung 2 juta ton,
kedelai 1,9 juta ton, daging sapi setara dengan 900 ribu ekor sapi, gula 3,06
juta ton, dan teh senilai 11 juta dolar AS (kompas, 10/01/13). Melihat dari
data diatas sangat ironi jika dibandingkan dengan kondisi sumberdaya alam
indonesia yang tergolong sangat besar dan subur namun masih banyak melakukan
import. Sebagian orang mengatakan kejadian tersebut karena kuragnya penerapan
teknologi pertanian serta SDM yang kurang mumpuni di indonesia.
Berdasarkan
kajian lokasi di indonesia, sebenarnya masih banyak wilayah di indonesia yang
belum dimanfaatkan secara maksimal. Banyak wilayah hutan di luar pulai jawa
yang masih terbengkalai seperti pada kepulauan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi
dan lain sebagainya. Jika saja pemanfaatan lahan pertanian tersebut dapat
dimaksimalkan dimumngkinkan swasembada pangan dapat terpenuhi. Namun strategi
ini masih memiliki berbagai macam permasalahan antara lain seperti yang
diterbitkan kompas, (08/otk/12) "Persoalannya sebetulnya bukanlah perlu
tidaknya lahan baru. Saat ini sebanyak 52 % (persen) irigasi teknis kita
bermasalah. Akibatnya, indeks pertanaman kita masih rendah, rata-rata 1,6 %
(persen). Artinya, lahan yang ada ini belum dioptimalkan,"(Ketua Komisi IV
DPR Romahurmuziy). Berdasarkan pernyataan diatas artinya strategi perluasan
lahan yang tidak diimbangi dengan dengan pengaturan utilitas dan peningkatan
SDM masih belum bisa digunakan sebagai solusi peningkatan swasembada pangan.
Peningkatan
jumlah penduduk dan perkembangan agro-industri menuntut peningkatan produksi
pertanian yang semakin tinggi setiap tahunnya, padahal lahan-lahan subur
semakin menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan non-pertanian. Dewasa ini
diperkirakan 35.000-40.000 ha lahan subur setiap tahunnya beralih fungsi
menjadi wilayah pemukiman, jalan raya, dan industri (Litbang Pertanian, 1992).
Karena itu untuk mengembangkan usaha pertanian perlu diarahkan kepada
lahan-lahan marginal di luar Jawa yang dikaitkan dengan program transmigrasi
dan peningkatan kesempatan kerja. Lahan pasang surut tersebar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya meliputi areal seluas 24,8 juta ha, dan
sekitar 9 juta ha diantaranya prospektif dikembangkan untuk pertanian (Litbang
Pertanian, 1995). Lahan pasang surut merupakan lahan marginal dan rapuh yang
pemanfaatannya memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat. Kekeliruan di
dalam membuka lahan ini akan membutuhkan investasi besar dan sulit untuk
mengembalikannya seperti keadaan semula. Pada dasarnya lahan gambut atau lahan
pasang surut ini merupakan lahan yang kaya akan bahan organic sehingga jika
pengelolaannya tepat maka dapat dijadikan suatu alternative pengembangan
teknologi pertanian.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
karakteristik tipologi lahan gambaut, lahan pasang surut dan lahan mineral
asam?
2. Bagaimana
pengelolaan tanaman pangan pada lahan gambut, pasang surut dan mineral masam
agar dapat mencapai swasembada pangan?
1.3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Di
Indonesia terdapat sekitar 20,1 juta ha lahan pasang surut, tersebar di 4 pulau
besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Menurut Nedeco
Euroconsult (1985), sekitar 5.6 juta ha lahan pasang surut sesuai untuk
dikembangkan untuk lahan pertanian. Dari luasan terseb ut, 2,6 juta ha
berpotensi untuk pengembangadna lams kalab esar. Dua juta ha dari lahan pasang
surut di Indonesia tergolong tipologi potensial, 10.0 juta ha tipologi lahan gambut,
6.7 juta ha lahan sulfat masam dan 0.4 juta ha lahan salin. Sebaran tipelogi lahan
berbeda menurut wilayahnya, dalam arti tiap lokasi dapat mencakup beberapa tipologi
lahan dan tipe luapan (Sabran, 2000).
Berdasarkan
ketebalan lapisan gambutnya, lahan gambut terbagi dalam tiga kategori lahan,
yaitu : a) gambut dangkal dengan ketebalan lapisan gambut 50- 100 cm, b) gambut
tengahan dengan ketebalan lapisan gambut 101 - 200 cm dan c) gambut dalam
dengan ketebalan lapisan gambut > 2 m. Lahan gambut dangkal memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian, khususnya untuk tanaman sayuran.
Berdasarkan klasifikasi rawa, tipologi lahan, dan pola pemanfaatannya, tanaman
sayuran dan hortikultura cocok diusahakan pada klasifikasi rawa lebak dengan
tipologi lahan tanah aluvial gambut dangkal (R/A-G1) dan rawa pasang surut air
tawar dengan tipologi lahan gambut dangkal (G1). Kedua tipologi lahan ini
memiliki karakteristik kimia yang berbeda sehingga untuk memudahkan pengelolaan
dalam menentukan jumlah pupuk yang diberikan, perlu diketahui karakteristik
kimia tanahnya (Alwi, 2007).
Lahan
potensial yaitu lahan pasang surut yang tanahnya termasuk tanah sulfat masam
potensial dengan lapisan pirit berkadar 2% terletak pada kedalaman lebih dari
50 cm dari permukaan tanah, sedangkan lahan sulfat masam adalah lahan yang
tanahnya mempunyai lapisan pirit atau sulfidik berkadar > 2% pada kedalaman
kurang dari 50 cm. Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi : (a) lahan
sulfat masam potensial, apabila lapisan piritnya belum teroksidasi dan (b)
lahan sulfat masam aktual, apabila lapisan piritnya sudah teroksidasi yang
dicirikan adanya horizon sulfurik dan pH tanah <3,5 (Jumberi, 2003).
Lahan
rawa pasang surut yang luasnya mencapai 20,1 juta ha pada awalnya merupakan
rawa pantai pasang surut di muara sungai besar, yang dipengaruhi secara
langsung oleh aktivitas laut. Di bagian agak ke pedalaman, pengaruh sungai
besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air asin (salin) dan
air payau. Adanya proses sedimentasi, kini wilayah tersebut berwujud sebagai
daratan yang merupakan bagian dari delta sungai. Wilayah tersebut terletak
relative agak jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau secara langsung
oleh air laut waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah tersebut saat ini banyak
dipengaruhi oleh aktivitas sungai di samping pasang surut harian dari laut
(Ardi, 2007)
Lahan
sulfat masam bila tipe luapannya A atau B, maka akan lebih efisien dan aman
bila dijadikan lahan sawah karena dalam kondisi tergenang air (anaerob) bahan
sulfida atau pirit akan stabil dan dengan demikian masukan yang diperlukan
untuk tanaman akan lebih murah, tetapi bila tipe luapan C/D maka sebaiknya
jangan disawahkan (Suriadikarta, 2008).
Berdasarkan
tipe luapan air, padi sawah dapat dibudidayakan pada lahan bertipe luapan air
A, B, atau C yang telah menjadi sawah tadah hujan. Lahan yang bertipe luapan
air A adalah lahan yang selalu terluapi air, baik pada saat pasang besar maupun
kecil. Tipe B hanya terluapi air pada saat pasang besar saja. Sedangkan lahan
tipe C lahan tidak terluapi air pasang, namun air tanahnya dangkal (Suastika,
1997).
BAB
3. PENGELOLAAN
3.1 Pengolahan Tanaman
Pangan Pada Lahan Pasang Surut
Pengelolaan Tanaman Padi
Di indonesia sampai saat ini
masih terdapat ±20.1 juta Ha yang banyak tersebar di kepulauan Sumatra dan
Kalimantan. Pada dasarnya jenis-jenis lahan ini banyak mengandung bahan organic
karena cenderung berada pada daerah gambut. Oleh karena itu, jika pengelolaan
yang dilakukan tepat maka tidak mustahil jika digunakan sebagai solusi
peningkatan produksi pangan. Berikut adalah data wilayah lahan pasang surut di
indonesia:
Pengelolaan
pada lahan pasang surut, lahan masam ataupun lahan gambut harus disesuaikan
dengan karakteristik lokasinya, dimana karakteristik tersebut akan menentukan
kesesuaian dengan jenis komoditasnya.
Metode/Cara
Budidaya
Pengolahan tanah: tindakan awal yakni
dilakukan penggenangan air 5-10cm untuk memisahkan zat beracun dari tanah dan
selanjutnya menyalurkannya keluar. Olah tanah dilakukan dengan kedalaman yang
relative dangkal. Hal ini bertujuan agar pengolahan tersebut tidak sampai pada
lapisan pirit yang dapat meracuni tanaman berkisar 20-25 cm. Tahapan pengolahan
tersebut yakni membuang rumput yang tumbuh dan mengkondisikan lahan
macak-macak. Selanjutnya dilakukan pembuatan saluran “cacing” yakni saluran kecil yang berfungsi sebagai saluran
pembuangan zat beracun yang umumnya juga digunakan sebagai petakan dengan
kedalaman 20cm.
Penanaman : pada umumnya dipilih varietas
padi yang berumur dalam (lama). Penanaman menggunakan sistem jajar legowo untuk
memaksimalkan pertumbuhan tanaman dan berpotensi produksi optimal.selanjutnya
untuk proses perawatan sama dengan pengelolaan tanaman padi pada umumnya.
Berdasarkan penelitian rata-rata hasil padi mencapai4-5ton/ha.
3.2
Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Gambut
Kunci keberhasilan budidaya
padi sawah pada lahan gambut terletak
pada keberhasilan dalam pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah
kendala fisik yang merupakan faktor pembatas, penanganan substansi toksik dan
pemupukan unsur makro dan mikro. Persyaratan lahan yang dapat ditanami tanaman
pangan khususnya padi yakni Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah
gambut dengan (20-50 cm gambut) dan gambut dangkal (0,5-1 m). jika .1 m maka
padi tidak akan menghasilkan malai karena karena kahat unsur hara mikro Subagyo
et al, 1996). andungan bahan organik tinggi, asam-asam organik menghambat
pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan
kegagalan panen.
Metode/Cara
budidaya
Pengolahan lahan dilakukan
dua kali, dimulai dengan pembersihan lahan dari gulma. Pengolahan pertama,
adalah membalik tanah, sedang pengolahan kedua adalah menghaluskan tanah dan
meratakannya. Lahan yang telah dibersihkan kemudian dibuat petakan sawah. Selanjutnya
lahan dibiarkan hingga macak-macak. Padi yang baik ditanam pada lahan gambut
yakni:
Selama masa tanam hingga
padi berumur 2mst tidak perlu dilakukan penggenangan, hal ini karena kadar air
pada lahan gambut cukup tinggi sehingga tidak digenang agar aerasi baik. Pada
umum 2mst dilakukan penggenangan setinggi 10 cm dari permukaan tanah.
Penyiangan dilakukan dua kali yakni, pertama saat tanaman berumur 3 mst dan
penyiangan kedua saat berumur 5 mst. Selanjutnya penggenangan dilakukan secara
intermitten (berselang) untuk menjaga keseimbangan aerasi tanah. pemupukan
diberikan dengan menggunakan Pupuk yang diberikan Urea, SP36 dan KCl dengan
tiap pupuk berdosis 150, 125 dan 125 kg ha-1 yang dilakukan secara sebar. Urea
diberikan dua kali yakni saat tanam dan berumur 4 mst, sedangkan SP36 dan KCl
diberikan sekaligus pada saat tanam. Sp-36 dan KCL di berikan di awal karena
kemasaman tanah sawah gambut di daerah ini 3.75-4.05, kandungan N total tinggi
pada ketebalan 0-40 cm, ketersediaan P rendah–sedang, kandungan Ca, Mg dan K
sangat rendah, kandung-an hara mikro terutama Cu dan Zn rendah. kendala pada
lahan gambut yakni rendahnya ketersediaan hapa P sehingga anakan produktif yang
dihasilkan dibawah 50% jumlah anakan maksimum. Namun secara keseluruhan hasil
panen cukup baik dengan rata-rata panen sebagai berikut:
3.3
Pengelolaan Lahan Mineral Masam
Tanah mineral masam memiliki
kendala fisik, antara lain; pertama, kandungan bahan organik yang rendah yaitu
sekitar 2% bahkan banyak tanah yang telah diusahakan untuk pertanian lebih
rendah lagi. Produktivitas tanah turun karena kombinasi kahat unsur hara,
degradasi fisik tanah dan hilangnya bahan organik karena adanya proses
dekomposisi bahan organik dipercepat dan hilangnya bahan organik oleh adanya
erosi. Erosi yang menghilangkan lapisan tanah atas yang subur, dan meninggalkan
lapisan tanah bawah yang mengandung Al tinggi dan bersifat toksik sebagai
lapisan olah tanah untuk media tanaman. kendala utama pada tanah jenis ini
yakni kandungan hara yang rendah menyebabkan input pupuk cukup besar. Pupuk
yang diberikan pun jika sintetik akan semakin menurunkan kesuburan tanah, oleh
karena itu pemupukan dengan bahan organic mutlak perlu dilakukan.
Berdasarkan karakteristik
lahanya tanaman kedelai mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan
di tanah Ultisol asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang
tepat. Umumnya tanah tersebut mempunyai pH yang sangat masam hingga agak masam,
yaitu sekitar 4.1-5.5, jumlah basa-basa dapat ditukar tergolong rendah hingga
sedang dengan komplek adsorpsi didominasi oleh Al, dan hanya sedikit mengandung
kation Ca dan Mg. Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) lapisan
atas tanah umumnya rendah hingga sedang (Subagyo et al., 2000). Selain
pengolahan tanah yang baik input pupuk juga harus mendukung,terutama penggunaan
bahan organic.
Cara
budidaya
Pengolahan tanah awal
haruslah intensif dengan penambahan banyak Bahan Organik sebagai penambahan
hara awal serta dilakukan penambahan kapur CaCO3 sebagai penetral pH.
Sebaiknya padi yang diusahakan yakni jenis padi gogo yang tendering tahan
terhadap kondisi tanah semacam ini. Penanaman sebaiknya menggunakan bibit
dengan asupan air yang cukup agar tanaman lebih adaptif terhadap lingkungan
tumbuhnya. Pemupukan disesuaikan dengan dosis yang telah ditentukan saat
pemupukan juga secara rutin dilakukan penambahan CaCO3 untuk menjaga
kestabilan pH.
BAB
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Budidaya
tanaman pangan pada lahan pasang surut
teknik utama yang harus diterapkan yakni pengelolaan air yang baik serta
pemilihan varietas yang sesuai. Dibuat parit cacingan untuk meminimalisir air
yang masuk serta sulan pengeluaran air saat surut agar tidak terjadi
penggenangan. Untuk penanamannya sendiri dapat disamakan dengan pola pertanian
sawah, hanya saja lebih ditekankan pada pengelolaan air. Lahan gambut Kendala utama pada lahan gambut pada umumnya yakni pH
yang terlalu masam dan umumnya terjadi penggenangan. Pada proses budidaya dapat
ditambahkan kapur untuk menaikkan pH dan irigasi yang baik agar tidak terjadi
penggenangan. Untuk tanaman padi yang sesuai ditanam adalah jenis padi gogo karsena
tahan kekeringan sebab pada musim kering rata-rata lahan gambut menjadi
gersang. Input yang sangat penting ditambahkan yakni kapur. Lahan mineral masam Jenis lahan ini
sangat minim akan bahan organic kareana terjadi percepatan dekomposisi dan
terjadinya erosi. Oleh karena itu, budidaya tanaman pangan pada lahan ini perlu
ditekankan penekanan penambahan Bahan Organik dan penambahan CaCO3.
Untuk jenis padi yang baik ditanam pada lahan ini adalah padi gogo karena pada
umumnya ladan relative kering.
4.2
Komentar
Pada dasarnya budidaya
tanaman pangan dapat dilakukan pada lahan marginal jika ditunjang dengan teknologi
yang sesuai. Permasalah utamanya lahan marginal diatas yakni pengelolaan
irigasi dan kondisi pH yang masam.
4.3
Saran
Sebelum melakukan budidaya
pada suatu lahan hendaknya kita pahami dulu karakteristik yang ada sehingga
dapat ditentukan teknologi dan metode apa yang baik diterapkan pada lahan
tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi,
M. 2007. Karakteristik Kimia Lahan Gambut Dangkal dan Potensinya untuk
Pertanaman Cabai dan Tomat. Bul. Agron. (35) (1) 36 – 43 (2007)
Anonime.
Karakteristik dan Potensi Lahan Pasang Surut.htm (COMPAS.COM). diakses 20 februari 2013
Ardi,
Didi. 2007. Jenis-Jenis Lahan Berpotensi Untuk Pengembangan Pertanian Di Lahan
Rawa. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 115-122, 2007
Jamberi,
Achmadi. 2003. Prospek Pengembangan Tanaman Pangan Di Lahan Pasang Surut. Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjar Baru 70712, Kalimantan Selatan
Mansur.
2001. Identifikasi Kedalaman Lapisan Pirit Di Lapangan. Buletin Teknik
Pertanian Vol. 6. Nomor 2, 2001
Sabran,
M. 2000. Pengujian Galur Kedelai di Lahan Pasang Surut (Testing of Soybean
Genotypes for Tidal Swampland). Balai Pel,elitian Tanaman Pangan Lahan Rawa.
Bul. Agron (28) (2) 41 48 (2000)
Suriadikarta,
D. 2008. Pemanfaatan Dan Strategi Pengembangan Lahan Gambut Eks Plg Kalimantan
Tengah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 2 No. 1, Juli 2008
Suwastika,
I wayan. 1997. Budi Daya Padi Sawah di Lahan Pasang Surut. Proyek Penelitian
Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP
Add caption |