Kebun Bunga

menyediakan bunga, pohon, dan bibit tanaman buah

Sabtu, 22 Juni 2013

PENGELOLAAN TANAMAN PANGAN PADA TIPOLOGI LAHAN GAMBUT, PASANG SURUT DAN LAHAN MINERAL MASAM


UNEJ

Kapita Selekta Ilmu Pertanian

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugah Mata Kuliah Kapita Selekta Ilmu Pertanian



PENGELOLAAN TANAMAN PANGAN PADA TIPOLOGI LAHAN GAMBUT, PASANG SURUT DAN LAHAN MINERAL MASAM


Oleh:

Ulil Abror Putra Yudha
101510501143



PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013



BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini dapat dikatakan kondisi pertanian indonesia dalam keadaan terpuruk. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya Negara ini mengimport berbagai produk tanaman pangan mulai dari beras, jagung, kedelai dan lainnya. Pada Oktober 2012 Impor beras mencapai 1,95 juta ton, jagung 2 juta ton, kedelai 1,9 juta ton, daging sapi setara dengan 900 ribu ekor sapi, gula 3,06 juta ton, dan teh senilai 11 juta dolar AS (kompas, 10/01/13). Melihat dari data diatas sangat ironi jika dibandingkan dengan kondisi sumberdaya alam indonesia yang tergolong sangat besar dan subur namun masih banyak melakukan import. Sebagian orang mengatakan kejadian tersebut karena kuragnya penerapan teknologi pertanian serta SDM yang kurang mumpuni di indonesia.
Berdasarkan kajian lokasi di indonesia, sebenarnya masih banyak wilayah di indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Banyak wilayah hutan di luar pulai jawa yang masih terbengkalai seperti pada kepulauan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lain sebagainya. Jika saja pemanfaatan lahan pertanian tersebut dapat dimaksimalkan dimumngkinkan swasembada pangan dapat terpenuhi. Namun strategi ini masih memiliki berbagai macam permasalahan antara lain seperti yang diterbitkan kompas, (08/otk/12) "Persoalannya sebetulnya bukanlah perlu tidaknya lahan baru. Saat ini sebanyak 52 % (persen) irigasi teknis kita bermasalah. Akibatnya, indeks pertanaman kita masih rendah, rata-rata 1,6 % (persen). Artinya, lahan yang ada ini belum dioptimalkan,"(Ketua Komisi IV DPR Romahurmuziy). Berdasarkan pernyataan diatas artinya strategi perluasan lahan yang tidak diimbangi dengan dengan pengaturan utilitas dan peningkatan SDM masih belum bisa digunakan sebagai solusi peningkatan swasembada pangan.
Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan agro-industri menuntut peningkatan produksi pertanian yang semakin tinggi setiap tahunnya, padahal lahan-lahan subur semakin menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan non-pertanian. Dewasa ini diperkirakan 35.000-40.000 ha lahan subur setiap tahunnya beralih fungsi menjadi wilayah pemukiman, jalan raya, dan industri (Litbang Pertanian, 1992). Karena itu untuk mengembangkan usaha pertanian perlu diarahkan kepada lahan-lahan marginal di luar Jawa yang dikaitkan dengan program transmigrasi dan peningkatan kesempatan kerja. Lahan pasang surut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya meliputi areal seluas 24,8 juta ha, dan sekitar 9 juta ha diantaranya prospektif dikembangkan untuk pertanian (Litbang Pertanian, 1995). Lahan pasang surut merupakan lahan marginal dan rapuh yang pemanfaatannya memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat. Kekeliruan di dalam membuka lahan ini akan membutuhkan investasi besar dan sulit untuk mengembalikannya seperti keadaan semula. Pada dasarnya lahan gambut atau lahan pasang surut ini merupakan lahan yang kaya akan bahan organic sehingga jika pengelolaannya tepat maka dapat dijadikan suatu alternative pengembangan teknologi pertanian.

1.2 Rumusan Masalah
1.    Bagaimana karakteristik tipologi lahan gambaut, lahan pasang surut dan lahan mineral asam?
2.    Bagaimana pengelolaan tanaman pangan pada lahan gambut, pasang surut dan mineral masam agar dapat mencapai swasembada pangan?



1.3          
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Di Indonesia terdapat sekitar 20,1 juta ha lahan pasang surut, tersebar di 4 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Menurut Nedeco Euroconsult (1985), sekitar 5.6 juta ha lahan pasang surut sesuai untuk dikembangkan untuk lahan pertanian. Dari luasan terseb ut, 2,6 juta ha berpotensi untuk pengembangadna lams kalab esar. Dua juta ha dari lahan pasang surut di Indonesia tergolong tipologi potensial, 10.0 juta ha tipologi lahan gambut, 6.7 juta ha lahan sulfat masam dan 0.4 juta ha lahan salin. Sebaran tipelogi lahan berbeda menurut wilayahnya, dalam arti tiap lokasi dapat mencakup beberapa tipologi lahan dan tipe luapan (Sabran, 2000).
Berdasarkan ketebalan lapisan gambutnya, lahan gambut terbagi dalam tiga kategori lahan, yaitu : a) gambut dangkal dengan ketebalan lapisan gambut 50- 100 cm, b) gambut tengahan dengan ketebalan lapisan gambut 101 - 200 cm dan c) gambut dalam dengan ketebalan lapisan gambut > 2 m. Lahan gambut dangkal memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian, khususnya untuk tanaman sayuran. Berdasarkan klasifikasi rawa, tipologi lahan, dan pola pemanfaatannya, tanaman sayuran dan hortikultura cocok diusahakan pada klasifikasi rawa lebak dengan tipologi lahan tanah aluvial gambut dangkal (R/A-G1) dan rawa pasang surut air tawar dengan tipologi lahan gambut dangkal (G1). Kedua tipologi lahan ini memiliki karakteristik kimia yang berbeda sehingga untuk memudahkan pengelolaan dalam menentukan jumlah pupuk yang diberikan, perlu diketahui karakteristik kimia tanahnya (Alwi, 2007).
Lahan potensial yaitu lahan pasang surut yang tanahnya termasuk tanah sulfat masam potensial dengan lapisan pirit berkadar 2% terletak pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah, sedangkan lahan sulfat masam adalah lahan yang tanahnya mempunyai lapisan pirit atau sulfidik berkadar > 2% pada kedalaman kurang dari 50 cm. Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi : (a) lahan sulfat masam potensial, apabila lapisan piritnya belum teroksidasi dan (b) lahan sulfat masam aktual, apabila lapisan piritnya sudah teroksidasi yang dicirikan adanya horizon sulfurik dan pH tanah <3,5 (Jumberi, 2003).
Lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai 20,1 juta ha pada awalnya merupakan rawa pantai pasang surut di muara sungai besar, yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas laut. Di bagian agak ke pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air asin (salin) dan air payau. Adanya proses sedimentasi, kini wilayah tersebut berwujud sebagai daratan yang merupakan bagian dari delta sungai. Wilayah tersebut terletak relative agak jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau secara langsung oleh air laut waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah tersebut saat ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas sungai di samping pasang surut harian dari laut (Ardi, 2007)
Lahan sulfat masam bila tipe luapannya A atau B, maka akan lebih efisien dan aman bila dijadikan lahan sawah karena dalam kondisi tergenang air (anaerob) bahan sulfida atau pirit akan stabil dan dengan demikian masukan yang diperlukan untuk tanaman akan lebih murah, tetapi bila tipe luapan C/D maka sebaiknya jangan disawahkan (Suriadikarta, 2008).
Berdasarkan tipe luapan air, padi sawah dapat dibudidayakan pada lahan bertipe luapan air A, B, atau C yang telah menjadi sawah tadah hujan. Lahan yang bertipe luapan air A adalah lahan yang selalu terluapi air, baik pada saat pasang besar maupun kecil. Tipe B hanya terluapi air pada saat pasang besar saja. Sedangkan lahan tipe C lahan tidak terluapi air pasang, namun air tanahnya dangkal (Suastika, 1997).



BAB 3. PENGELOLAAN
3.1 Pengolahan Tanaman Pangan Pada Lahan Pasang Surut
Pengelolaan Tanaman Padi
Di indonesia sampai saat ini masih terdapat ±20.1 juta Ha yang banyak tersebar di kepulauan Sumatra dan Kalimantan. Pada dasarnya jenis-jenis lahan ini banyak mengandung bahan organic karena cenderung berada pada daerah gambut. Oleh karena itu, jika pengelolaan yang dilakukan tepat maka tidak mustahil jika digunakan sebagai solusi peningkatan produksi pangan. Berikut adalah data wilayah lahan pasang surut di indonesia:
            Pengelolaan pada lahan pasang surut, lahan masam ataupun lahan gambut harus disesuaikan dengan karakteristik lokasinya, dimana karakteristik tersebut akan menentukan kesesuaian dengan jenis komoditasnya.
Metode/Cara Budidaya
Pengolahan tanah: tindakan awal yakni dilakukan penggenangan air 5-10cm untuk memisahkan zat beracun dari tanah dan selanjutnya menyalurkannya keluar. Olah tanah dilakukan dengan kedalaman yang relative dangkal. Hal ini bertujuan agar pengolahan tersebut tidak sampai pada lapisan pirit yang dapat meracuni tanaman berkisar 20-25 cm. Tahapan pengolahan tersebut yakni membuang rumput yang tumbuh dan mengkondisikan lahan macak-macak. Selanjutnya dilakukan pembuatan saluran “cacing” yakni saluran kecil yang berfungsi sebagai saluran pembuangan zat beracun yang umumnya juga digunakan sebagai petakan dengan kedalaman 20cm.
Penanaman : pada umumnya dipilih varietas padi yang berumur dalam (lama). Penanaman menggunakan sistem jajar legowo untuk memaksimalkan pertumbuhan tanaman dan berpotensi produksi optimal.selanjutnya untuk proses perawatan sama dengan pengelolaan tanaman padi pada umumnya. Berdasarkan penelitian rata-rata hasil padi mencapai4-5ton/ha.
3.2 Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Gambut
Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan gambut  terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas, penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro. Persyaratan lahan yang dapat ditanami tanaman pangan khususnya padi yakni Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-50 cm gambut) dan gambut dangkal (0,5-1 m). jika .1 m maka padi tidak akan menghasilkan malai karena karena kahat unsur hara mikro Subagyo et al, 1996). andungan bahan organik tinggi, asam-asam organik menghambat pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan kegagalan panen.


Metode/Cara budidaya
Pengolahan lahan dilakukan dua kali, dimulai dengan pembersihan lahan dari gulma. Pengolahan pertama, adalah membalik tanah, sedang pengolahan kedua adalah menghaluskan tanah dan meratakannya. Lahan yang telah dibersihkan kemudian dibuat petakan sawah. Selanjutnya lahan dibiarkan hingga macak-macak. Padi yang baik ditanam pada lahan gambut yakni:
Selama masa tanam hingga padi berumur 2mst tidak perlu dilakukan penggenangan, hal ini karena kadar air pada lahan gambut cukup tinggi sehingga tidak digenang agar aerasi baik. Pada umum 2mst dilakukan penggenangan setinggi 10 cm dari permukaan tanah. Penyiangan dilakukan dua kali yakni, pertama saat tanaman berumur 3 mst dan penyiangan kedua saat berumur 5 mst. Selanjutnya penggenangan dilakukan secara intermitten (berselang) untuk menjaga keseimbangan aerasi tanah. pemupukan diberikan dengan menggunakan Pupuk yang diberikan Urea, SP36 dan KCl dengan tiap pupuk berdosis 150, 125 dan 125 kg ha-1 yang dilakukan secara sebar. Urea diberikan dua kali yakni saat tanam dan berumur 4 mst, sedangkan SP36 dan KCl diberikan sekaligus pada saat tanam. Sp-36 dan KCL di berikan di awal karena kemasaman tanah sawah gambut di daerah ini 3.75-4.05, kandungan N total tinggi pada ketebalan 0-40 cm, ketersediaan P rendah–sedang, kandungan Ca, Mg dan K sangat rendah, kandung-an hara mikro terutama Cu dan Zn rendah. kendala pada lahan gambut yakni rendahnya ketersediaan hapa P sehingga anakan produktif yang dihasilkan dibawah 50% jumlah anakan maksimum. Namun secara keseluruhan hasil panen cukup baik dengan rata-rata panen sebagai berikut:
3.3 Pengelolaan Lahan Mineral Masam
Tanah mineral masam memiliki kendala fisik, antara lain; pertama, kandungan bahan organik yang rendah yaitu sekitar 2% bahkan banyak tanah yang telah diusahakan untuk pertanian lebih rendah lagi. Produktivitas tanah turun karena kombinasi kahat unsur hara, degradasi fisik tanah dan hilangnya bahan organik karena adanya proses dekomposisi bahan organik dipercepat dan hilangnya bahan organik oleh adanya erosi. Erosi yang menghilangkan lapisan tanah atas yang subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawah yang mengandung Al tinggi dan bersifat toksik sebagai lapisan olah tanah untuk media tanaman. kendala utama pada tanah jenis ini yakni kandungan hara yang rendah menyebabkan input pupuk cukup besar. Pupuk yang diberikan pun jika sintetik akan semakin menurunkan kesuburan tanah, oleh karena itu pemupukan dengan bahan organic mutlak perlu dilakukan.
Berdasarkan karakteristik lahanya tanaman kedelai mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan di tanah Ultisol asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Umumnya tanah tersebut mempunyai pH yang sangat masam hingga agak masam, yaitu sekitar 4.1-5.5, jumlah basa-basa dapat ditukar tergolong rendah hingga sedang dengan komplek adsorpsi didominasi oleh Al, dan hanya sedikit mengandung kation Ca dan Mg. Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) lapisan atas tanah umumnya rendah hingga sedang (Subagyo et al., 2000). Selain pengolahan tanah yang baik input pupuk juga harus mendukung,terutama penggunaan bahan organic.
Cara budidaya
Pengolahan tanah awal haruslah intensif dengan penambahan banyak Bahan Organik sebagai penambahan hara awal serta dilakukan penambahan kapur CaCO3 sebagai penetral pH. Sebaiknya padi yang diusahakan yakni jenis padi gogo yang tendering tahan terhadap kondisi tanah semacam ini. Penanaman sebaiknya menggunakan bibit dengan asupan air yang cukup agar tanaman lebih adaptif terhadap lingkungan tumbuhnya. Pemupukan disesuaikan dengan dosis yang telah ditentukan saat pemupukan juga secara rutin dilakukan penambahan CaCO3 untuk menjaga kestabilan pH.



BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
            Budidaya tanaman pangan pada lahan pasang surut teknik utama yang harus diterapkan yakni pengelolaan air yang baik serta pemilihan varietas yang sesuai. Dibuat parit cacingan untuk meminimalisir air yang masuk serta sulan pengeluaran air saat surut agar tidak terjadi penggenangan. Untuk penanamannya sendiri dapat disamakan dengan pola pertanian sawah, hanya saja lebih ditekankan pada pengelolaan air. Lahan gambut Kendala utama pada lahan gambut pada umumnya yakni pH yang terlalu masam dan umumnya terjadi penggenangan. Pada proses budidaya dapat ditambahkan kapur untuk menaikkan pH dan irigasi yang baik agar tidak terjadi penggenangan. Untuk tanaman padi yang sesuai ditanam adalah jenis padi gogo karsena tahan kekeringan sebab pada musim kering rata-rata lahan gambut menjadi gersang. Input yang sangat penting ditambahkan yakni kapur. Lahan mineral masam Jenis lahan ini sangat minim akan bahan organic kareana terjadi percepatan dekomposisi dan terjadinya erosi. Oleh karena itu, budidaya tanaman pangan pada lahan ini perlu ditekankan penekanan penambahan Bahan Organik dan penambahan CaCO3. Untuk jenis padi yang baik ditanam pada lahan ini adalah padi gogo karena pada umumnya ladan relative kering.

4.2 Komentar
Pada dasarnya budidaya tanaman pangan dapat dilakukan pada lahan marginal jika ditunjang dengan teknologi yang sesuai. Permasalah utamanya lahan marginal diatas yakni pengelolaan irigasi dan kondisi pH yang masam.

4.3 Saran
Sebelum melakukan budidaya pada suatu lahan hendaknya kita pahami dulu karakteristik yang ada sehingga dapat ditentukan teknologi dan metode apa yang baik diterapkan pada lahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, M. 2007. Karakteristik Kimia Lahan Gambut Dangkal dan Potensinya untuk Pertanaman Cabai dan Tomat. Bul. Agron. (35) (1) 36 – 43 (2007)

Anonime. Karakteristik dan Potensi Lahan Pasang Surut.htm (COMPAS.COM). diakses 20 februari 2013

Ardi, Didi. 2007. Jenis-Jenis Lahan Berpotensi Untuk Pengembangan Pertanian Di Lahan Rawa. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 115-122, 2007

Jamberi, Achmadi. 2003. Prospek Pengembangan Tanaman Pangan Di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjar Baru 70712, Kalimantan Selatan

Mansur. 2001. Identifikasi Kedalaman Lapisan Pirit Di Lapangan. Buletin Teknik Pertanian Vol. 6. Nomor 2, 2001

Sabran, M. 2000. Pengujian Galur Kedelai di Lahan Pasang Surut (Testing of Soybean Genotypes for Tidal Swampland). Balai Pel,elitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Bul. Agron (28) (2) 41 48 (2000)

Suriadikarta, D. 2008. Pemanfaatan Dan Strategi Pengembangan Lahan Gambut Eks Plg Kalimantan Tengah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 2 No. 1, Juli 2008

Suwastika, I wayan. 1997. Budi Daya Padi Sawah di Lahan Pasang Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP



Add caption

pengaruh / respon hormon IBA (Indole Butyric Acid)

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu usaha untuk meningkatkan persentase pertumbuhan stek ialah dengan menggunakan jenis hormon IBA (Indole Butyric Acid) yang merupakan jenis hormon yang digunakan untuk merangsang pembentukan akar. Hormon IBA digunakan karena perbanyakan stek mempunyai beberapa kendala, yaitu zat tumbuh tidak tersebar merata sehingga pertumbuhan stek tidak seragam. IBA memiliki kandungan kimia yang lebih stabil dan daya kerjanya lebih lama sehingga dapat memacu pembentukan akar. IBA (Indole Butyric Acid) yang diberikan pada stek akan tetap berada pada tempat pemberiannya sehingga tidak menghambat pertumbuhan dan perkembangan tunas. Hormone ini akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar sehingga sistem penyerapan hara akan berlangsung dengan baik sehingga tanaman akan berkembang secara optimal.
Tanaman yang digunakan untuk penelitian pengaruh hormone IBA pada pertumbuhan akar yakni tanaman buah naga. Buah naga yang dipilih adalah buah naga daging putih (Hylocereus undatus). Pemilihan buah naga putih ini karena memiliki syarat tumbuh yang cocok untuk ditanam di dataran rendah yakni dengan suhu yang tidak terlalu sejuk, jika buah naga putih ditanam pada suhu yang relatif sejuk maka produktivitasnya akan berkurang karena akan lebih banyak tumbuhnya tunas daripada buah. Perlakuan yang diberikan yakni 5 variasi konsentrasi hormon IBA, yaitu 0 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, 2000 ppm, dan 4000 ppm dengan setiap perlakuan diulang 5 kali sehingga didapatkan 25 unit eksperimen. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Semakin tinggi konsentrasi IBA, maka berpengaruh positif terhadap pertumbuhan akar pada stek batang tanaman buah naga yang meliputi persentase stek yang berakar, panjang akar, dan biomassa akar. Perlakuan dengan konsentrasi 2000 ppm terjadi peningkatan paling tinggi sedangkan pada perlakuan dengan konsentasi 500 ppm memberikan pengaruh terhadap persentase stek yang berakar, panjang akar, dan biomassa akar yang rendah. Pada konsentrasi 0 ppm yang merupakan kontrol tidak menunjukkan adanya pertumbuhan akar. Pada konsentrasi 4000 ppm terjadi penurunan.
Pada grafik diatas menunjukkan adanya perkembangan jumlah akar yang signifikan yang seiring dengan penambahan IBA sampai pada titik tertentu. Hormon IBA mendorong pembelahan sel dengan cara mempengaruhi dinding sel epidermis. Induksi auksin dapat mengaktivasi pompa proton (ion H+) yang terletak pada membran plasma sehingga menyebabkan pH pada bagian dinding sel lebih rendah dari biasanya, yaitu mendekati pH membran plasma. Hormon auksin mampu mengendurkan dinding sel epidermis, sehingga dinding sel epidermis yang sudah kendur menjadi mengembangHal ini dapat memudahkan air masuk ke dalam batang. Masuknya air ke dalam batang akan memacu proses perakaran. selain itu masuknya hormon IBA ke dalam dinding sel epidermis mampu mempengaruhi aktivitas gen dalam memacu transkipsi berulang DNA menjadi m-RNA. Tersedianya m-RNA ini maka akan terjadi tranlasi m-RNA menjadi enzim yang mempunyai aktivitas katalis tinggi pada konsentrasi yang rendahOleh karena itu, penambahan akar sebanding dengan penambahan IBA.
Tersedianya enzim ini maka bahan-bahan protein atau polisakarida yang menyebar pada dinding sel epidermis dapat dipecah dengan segera untuk menghasilkan energi yang akan mendukung proses pembentangan dan pembesaran sel, sehingga mendorong pembelahan sel dan terjadi pertumbuhan akar.
Pada grafik ditunjukkan bahwa konsentrasi IBA yang berlebih menyebabkan penurunan pertumbuhan akar. Hal ini karena hormon IBA yang berlebihan akan menghasilkan etilen. kenaikan konsentrasi hormon IBA maka akan meningkatkan ACC sintase yang merupakan enzim untuk mengubah prekursor S-Adenosylmethionine (AdoMet) menjadi 1- Aminocyclopropane-1-carboxylic acid (ACC) yang selanjutnya menjadi etilen melalui Siklus Yang. Etilen akan menghambat pemanjangan akar karena pemelaran sel ke samping lebih terpacu sehingga akar relative membesar namun berhenti memanjang.



BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan pengaruh hormone IBA terhadap perumbuhan akar buah naga (Hylocereus undatus), menunjukkan bahwa penambahan IBA berkorelasi positif terhadap pertumbuhan akar. Berdasarkan data diketahui penambahan IBA dengan peningkatan dosis dapat meningkatkan pertumbuhan akar. Pada perlakuan 0 ppm tidak menunjukkan pertumbuhan pada akar, sedangkan pada dosis 2000 ppm menunjukkan respon yang paling baik pada pertumbuhan akar. Pada dosis 4000 ppm pertumbuhan akar cenderung menurun hal ini karena tinggi IBA memacu terbentuknya etilene yang dapat menghambat pertumbuhan akar.

Sumber:

Shofiana, Arini dkk. 2013. Pengaruh Pemberian Berbagai Konsentrasi Hormon IBA (Indole Butyric Acid) terhadap Pertumbuhan Akar pada Stek Batang Tanaman Buah Naga (Hylocereus undatus). LenteraBio Vol. 2 No. 1 Januari 2013:101–105